LIMAPAGI – Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai Undang-Undang (UU) tidak sempurna sehingga bisa saja direvisi. Sebab itu, ia menilai keliru pernyataan Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Henri Subiakto yang membandingkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan kitab suci.
Menurut Asfinawati, salah besar analogi yang mengaitkan isi UU ITE jika bermasalah tidak perlu direvisi, seperti kitab suci tak perlu diubah isinya meski ada orang salah menafsirkan. Menurut Asfinawati, perbandingan Henri itu tidak cocok.
“Perbandingannya sudah tidak pas,” ujar Asfinawati kepada Limapagi.com, Minggu, 21 Februari 2021..
Asfinawati menilai kitab suci sakral karena turun langsung dari wahyu Tuhan, tidak sama jika dibandingkan dengan UU yang dibuat oleh manusia. “Kitab suci memang tidak bisa diubah, tapi UU beda,” lanjutnya.
Lantaran sifatnya yang dibikin oleh manusia maka tidak menutup kemungkinan UU memiliki kekurangan. Maka dari itu, kata dia, dibentuklah lembaga negara bernama Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji UU terhadap UUD 45. “Karena itu ada MK, kan artinya UU itu pasti tidak sempurna,” pungkasnya.
Sebelumnya, pernyataan UU ITE tak harus direvisi hanya karena isinya bermasalah dalam implementasi diucapkan Staf Kominfo Henry Subiakto saat diskusi bertajuk ‘UU ITE Bukan Revisi Basa Basi’ pada Sabtu, 20 Februari 2021. Dalam diskusi itu, ia membandingkan UU ITE dengan kitab suci yang sama-sama dapat dimaknai bermacam-macam, bahkan dengan penafsiran yang keliru.
“Tidak berarti kalau ada kasus buruk dengan interpretasi yang salah, UU itu harus diubah. Coba Anda lihat kitab suci pun sering ditafsir masing-masing dan salah, tapi kan tidak langsung mau diubah,” ujar Henri.
Selain Henri, diskusi itu juga diikuti Chariman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC Pratama Persadha, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi, Wakil Sekjen Partai Demokrat Imelda Sari, dan Ketua YLBHI Bidang Advokasi Muhamad Isnur.
Henri tidak setuju dengan adanya anggapan yang menyebutkan bahwa Pasal; 27 aya (3) tentang pencemaran nama dan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian berbasis SARA di dalam UU ITE adalah pasal karet. Menurutnya kedua pasal itu telah diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) dan ditolak oleh MK. “Yang penting diperbaiki, bukan normanya dihilangkan,” kata dia.**
Discussion about this post