LIMAPAGI – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, ada dua hal yang harus dilakukan pemerintah terkait predatory pricing.
Pertama, pemerintah harus berinistiatif melakukan penyidikan dugaan dumping platform e-commerce maupun barang impor yang dijual secara daring. Kedua, pembatasan barang impor di marketplace.
“Instrumennya sudah ada Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Jika ditemukan ada dumping maka diberlakukan kenaikan bea masuk yang lebih tinggi,” kata Bhima kepada Limapagi, Selasa, 9 Maret 2021.
Pada sektor ritel modern, lanjut Bhima, ada (Permendag) No 70/M-DAG/PER/12/2013 tentang pedoman penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern.
Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa ritel modern wajib menjual produk Indonesia minimal 80 persen dari total barang yang dijual.
“Kenapa di e-commerce tidak diberlakukan hal yang sama?” tegas Bhima.
Pemerintah harus membaca terlebih dahulu letak predatory pricing. Sebab, strategi predatory pricing sangat terstruktur dilakukan oleh startup e-commerce, investor dan pemerintah negara asal barang impor.
Ia menjelaskan, di Tiongkok industri rumahan atau UMKM berada dalam sentralisasi produksi yang disebut Taobao Village. Produk kemudian dijual menggunakan platform Taobao yang dikembangkan oleh Alibaba Group.
Untuk membuat produk dengan harga yang murah, pemerintah Tiongkok melakukan berbagai cara, salah satunya dengan subsidi kepada usaha rumahan, dan membantu biaya bea keluar barang serta bantuan logistik.
Konsep Taobao Village, kata Bhima, kemudian berkembang dengan orientasi pasar negara berkembang seperti Indonesia.
“Alibaba melakukan suntikan modal besar-besaran kepada platform e-commerce lokal dan akhirnya ada promo diskon gratis ongkir dan sebagainya. Strategi ini cukup berhasil membuat produk impor barang konsumsi dominan di marketplace,” papar dia.
Studi INDEF menunjukkan produk yang diperdagangkan secara daring hanya 25,9% yang diproduksi lokal. Menurut Bhima, spesifik barang impor asal Tiongkok porsinya terus meningkat selama masa pandemi atau tahun 2020 lalu sehingga mencapai lebih dari 30,9% dari total impor non migas.
“Kalau akar masalahnya tidak diselesaikan maka sulit kebijakan apapun untuk batasi produk impor,” jelas Bhima.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) berencana untuk menertibkan predatory pricing pada e-commerce.
Predatory pricing adalah praktik permainan harga, umumnya menyasar pemain yang lebih lemah atau tak memiliki kekuatan modal besar.
Maraknya e-commerce saat ini, membuat produk asing yang dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan produk lokal, sehingga mematikan sejumlah pelaku UMKM.**
Discussion about this post