LIMAPAGI – Tan Joe Hok boleh saja menjadi pioner memasukkan Indonesia dalam peta persaingan di All England.
Gelar juara tunggal putra pada All England 1959 membuka mata dunia. Indonesia tak bisa dipandang remeh.
Penerus tongkat estafet Tan Joe Hok tak main-main. Rudy Hartono unjuk gigi sejak 1968. Delapan gelar tunggal putra All England ia genggam, tujuh di antaranya secara beruntun.
Jejak yang ditinggalkan Rudy sekaligus mencatatkan namanya sebagai penyandang gelar terbanyak tunggal putra All England sampai 2021.
Prestasi yang entah sampai kapan akan bertahan. Mengingat belum ada yang bisa mengejar. Lin Dan (China) pun paling banyak cuma mengoleksi enam trofi sebelum pensiun.
Erland Kops (Denmark) yang punya era emas lebih dulu hanya berhasil menggondol tujuh gelar.
Perjuangan Rudy hingga mencetak sejarah begitu berat. Debutnya pada turnamen tertua edisi ke-58 itu langsung bertemu Tan Aik Huang (Malaysia) di final.
Tan di atas kertas diunggulkan. Selain sudah pernah juara pada 1966, Rudy tak pernah menang dalam dua pertemuan terakhir melawan Tan.
“Bertanding di Malaysia saya kalah telak waktu pertama kali bertemu. Kedua kali di Kuala Lumpur, saya hampir menang,” ujar Rudy di All England Badminton.
“Kurang satu angka saja set pertama. Set kedua juga kurang satu angka. Saya kalah lagi,” Rudy menambahkan.
All England menjadi ajang revans buat Rudy. Mental tak mau kalahnya selalu dijunjung.
Pebulu tangkis asal Surabaya itu terobsesi untuk menang. Hanya menang yang ada di kepalanya.
“Saya orangnya tidak mau kalah. Saya tidak pernah bilang, tidak apa-apa kalah. Kalah itu sesuatu yang membuat saya sakit,” katanya.
“Kalah itu tidak enak. Dalam latihan pun saya selalu begitu. Kenapa kalah, apa yang kurang? Saya terpacu terus, apalagi di pertandingan,” Rudy menuturkan.
Ia bersiap serius selama tiga bulan sebelum All England berlangsung. Fisik dan teknik sudah apik. Tidak boleh kalah lagi.
“Saya terobsesi kalah itu sakit. Itu bagus. Kunci kemenangan terletak pada persiapan terbaik. Saya berlatih tiga bulan dan itu cukup,” ie menjelaskan.
“Pondasi fisik dan teknik sudah memenuhi syarat. Melihat dua pertemuan dengan Tan, saya ada kemajuan,” kata Rudy.
Setelah melewati babak demi babak, hari yang ditunggu tiba. Tan menanti di laga puncak.
Balas dendam terwujud. Rudy menang dua set, 15-12 dan 15-9. Perjalanan luar biasa untuk anak seusia Rudy waktu itu.
Ia memenangi All England pada usia 18 tahun 7 bulan. Sekaligus, namanya tercatat sebagai juara All England termuda kala itu.
“Saya main seperti terbang. Saya seperti sudah tahu ke mana dia mengarahkan bolanya,” kata Rudy.
“Itulah yang disebut no pain no gain. Kalah itu sakit, tidak enak. Saya semakin percaya diri,” ia menambahkan.
Terus Diperhitungkan
Sejak saat itu, perlahan pebulu tangkis Indonesia mengambil alih. Rudy bersama Minarni Sudayanto/Retno Koestijah (ganda putri) membawa pulang trofi All England 1968 di nomor masing-masing.
Enam tahun berikutnya hingga perhelatan 1974, nama Rudy masih terpampang di etalase juara tunggal putra All England.
“Saya punya keyakinan. Saya sangat fokus. Pada waktunya saya bisa memperihatkan hasil latihan selama sembilan tahun. Hasil luar biasa,” katanya.
“Tidak ada pemain yang juara All England lebih dari 10,” Rudy menandaskan.
Rudy kemudian ditemani Christian Hadinata/Ade Chandra (ganda putra) yang berhasil juara pada 1973 dan 1974.
Pada akhir era kejayaan di All England, Rudy masih sempat juara tahun 1976 yang menggenapi gelarnya menjadi delapan.
Setelah itu, muncul nama Tjun Tjun/Johan Wahyudi di sektor ganda putra. Mereka mendekati pencapaian Rudy dengan enam titel juara All England (1974, 1975, 1977-1980).
Susi Susanti juga layak dikedepankan. Ia merupakan satu-satunya pebulu tangkis tunggal putri Indonesia yang berhasil menjuarai All England.
Susi merengkuh empat gelar pada 1990, 1991, 1993, dan 1994.
Indonesia sempat mengalami fase menurun dari 2004 sampai 2012. Delapan tahun tanpa gelar All England.
Tontowi Ahmad/Liliana Natsir (ganda campuran) kembali membuka pintu juara Indonesia. Pada 2012 mental tak mau kalah Indonesia muncul lagi.
Mereka berjuang keras pada set pertama melawan Chan Peng Soon/Goh Liu Ying (Malaysia) dengan skor 27-25. Ganda campuran Indonesia akhirnya berhasil merebut set kedua, 21-16, sekaligus merengkuh juara.
Tontowi/Liliana meneruskan kesuksesan dua tahun berikutnya secara bernutun. Pada 2014, Tontowi/Liliana tak sukses sendiri, adaMohammad Ahsan/Hendra Setiawan yang juga juara.
Era Baru Juara
Indonesia kini berharap kepada Kevin Sanjaya/Marcus Gideon dan Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti.
Marcus/Kevin pernah berhasil pada edisi 2017 dan 2018. Praveen meneruskan kejayaan Tontowi/Liliana di sektor ganda campuran saat juara pada 2016 ketika berpasangan dengan Debby Susanto.
Praveen merengkuh juara kedua kali pada 2020 saat berpasangan dengan Melati Daeva Oktavianti.
Indonesia menurunkan sembilan wakil, tiga tunggal putra, satu tunggal putri, tiga ganda putra, satu ganda putri, dan satu ganda campuran.
Selain Marcus/Kevin dan Praveen/Melati, Indonesia juga menaruh tumpuan kepada Ahsan/Hendra dan Greysia Polii/Apriyani Rahayu pada All England 2021 ini atau edisi ke-113.
Daftar Juara All England
Tunggal Putra
Tan Joe Hok (1959)
Rudy Hartono (1968-1974 dan 1976)
Lim Swie King (1978-1979 dan 1981)
Ardy Wiranata (1991)
Heryanto Arbi (1993-1994)
Tunggal Putri
Susi Susanti (1990-1991 dan 1993-1994)
Ganda Putra
Christian Hadinata/Ade Chandra (1972-1973)
Tjun Tjun/Johan Wahyudi (1974-1975 dan 1977-1980)
Rudy Heryanto/Hariamanto Kartono (1981 dan 1984)
Rudy Gunawan/Eddy Hartono (1992)
Rudy Gunawan/Bambang Suprianto (1994)
Ricky Subagja/Rexy Mainaky (1995-1996)
Candra Wijaya/Tony Gunawan (1999)
Tony Gunawan/Halim Heryanto (2001)
Candra Wijaya/Sigit Budiarto (2003)
Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan (2014 dan 2019)
Kevin Sanjaya/Marcus Gideon (2017-2018)
Ganda Putri
Minarni Sudaryanto/Retno Koestijah (1968)
Verawaty Fadjrin/Imelda Wiguna (1979)
Ganda Campuran
Christian Hadinata/Imelda Wiguna (1979)
Tontowi Ahmad/Liliana Natsir (2012-2014)
Praveen Jordan/Debby Susanto (2016)
Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti (2020).***
Discussion about this post