LIMAPAGI – Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti vonis yang diberikan kepada eks Kadiv Hubinter Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte dan eks Karo Korwas PPNS Polri Brigjen Pol Prasetijo Utomo, terkait kasus penghapusan red notice atau daftar pencarian orang (DPO) Djoko Soegiarto Tjandra.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, vonis yang dijeratkan kepada mereka terlalu ringan. Putusan itu terkesan mengecilkan pemaknaan kejahatan korupsi yang dilakukan oleh dua perwira tinggi Polri tersebut.
“ICW beranggapan vonis yang pantas dijatuhkan kepada Prasetijo dan Napoleon adalah penjara seumur hidup. Keduanya juga layak diberi sanksi denda sebesar Rp 1 miliar,” kata Kurnia kepada Limapagi.com, Rabu, 10 Maret 2021.
Selain itu, ICW juga mempertanyakan landasan putusan majelis hakim yang justru menggunakan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang (UU) Tipikor. Akibatnya, vonis terdakwa menjadi sangat ringan karena maksimal ancaman dalam pasal itu hanya 5 tahun penjara.
“Semestinya hakim dapat menggunakan Pasal 12 huruf a UU Tipikor yang mengatur pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup,” ucapnya.
Kurnia mejelaskan, ada beberapa alasan mengapa Prasetijo dan Napoleon layak dihukum maksimal. Pertama, ketika melakukan kejahatannya, mereka mengemban profesi sebagai penegak hukum. Praktik suap menyuap yang terjadi tentu meruntuhkan citra Polri di mata masyarakat.
Kedua, Prasetijo dan Napoleon selaku penegak hukum malah bekerjasama dengan buronan. Dalam fakta persidangan terungkap, Prasetijo membantu istri Djoko Tjandra membuat surat yang ditembuskan ke Interpol Polri, serta bersurat ke Anna Boentaran terkait informasi red notice Djoko Tjandra.
Sedangkan Napoleon sendiri, dianggap terbukti menyurati Dirjen Imigrasi agar status DPO Djoko Tjandra dihapus.
“Ketiga, akibat tindakan tercela yang dilakukan oleh keduanya, justru menghambat proses hukum untuk dapat menjebloskan narapidana Djoko Tjandra ke lembaga pemasyarakatan,” kata Kurnia.
Berdasarkan data ICW, lanjut Kurnia, vonis Prasetijo dan Napoleon lebih rendah atau sama dengan Jenuri. Jenuri merupakan seorang Kepala Desa Wanakaya, Indramayu, Jawa Barat yang divonis 4 tahun penjara karena korupsi. Jenuri juga dianggap merugikan keuangan negara sebesar Rp 168 juta.
“Sedangkan Prasetijo dan Napoleon, dianggap telah menerima dana Rp 8,4 miliar dari Djoko Tjandra malah hanya divonis 3 tahun 6 bulan penjara dan 4 tahun penjara,” kata dia.
“Di luar itu, ICW juga mendesak agar Kepolisian Republik Indonesia melakukan pemberhentian tidak dengan hormat kepada dua perwira tinggi Polri tersebut,” kata Kurnia lagi.
Sebelumnya, Napoleon divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan. Hal ini karena, ia menerima suap dari Djoko Tjandra sebesar 200 ribu dolar Singapura atau setara Rp 2,1 miliar dan 370 ribu dolar AS atau setara Rp 5,2 miliar.
Sementara Brigjen Pol Prasetijo Utomo, divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan. Prasetijo dinyatakan menerima suap dari Djoko Tjandra sebesar 100 ribu dolar AS atau setara Rp 1,4 miliar.
Dalam kasus ini, keduanya dinyatakan melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Discussion about this post