LIMAPAGI – Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon menolak, kebijakan pemerintah untuk impor 1 juta ton beras yang merusak kehidupan petani. Kebijakan ini tidak didasari data akurat serta tidak melibatkan stakeholder pertanian Indonesia.
“HKTI mendesak pemerintah untuk mencabut kebijakan impor 1 juta ton beras,” kata Fadli Zon dalam keterangan tertulis, Rabu, 10 Maret 2021.
Ia juga meminta kepada Bulog untuk menyerap secara aktif dan maksimal hasil produksi petani sesuai dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) pada panen raya Maret-April 2021.
HKTI juga meminta kepada pemerintah untuk menempatkan petani dan pertanian Indonesia sebagai basis kedaulatan dan kemakmuran bangsa, bukan sekadar komoditas dagang.
“HKTI meminta kepada pemerintah untuk terbuka dan melibatkan secara aktif organisasi petani serta pemangku kepentingan pertanian Indonesia dalam perumusan kebijakan pangan nasional,” ujarnya.
Menurut Fadli Zon, rencana impor beras 1 juta ton yang beberapa waktu lalu disampaikan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi merupakan kebijakan nirsimpati dan merusak petani.
Kebijakan ini, walau implementasinya belum diketahui pasti tentang tanggal dan waktunya, akan langsung berdampak pada turunnya harga gabah petani secara signifikan.
Padahal tanpa ada rencana impor saja, setiap panen raya harga gabah di tingkat petani hampir selalu turun, di bawah HPP.
Tentunya pengumuman rencana impor beras, menurut dia, akan memberikan efek semakin menekan harga gabah petani.
“Pada Maret-April 2021 kita akan memasuki puncak panen raya musim tanam Okmar (Oktober-Maret),” jelas dia.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), potensi gabah kering giling (GKG) Januari-April 2021 mencapai 25,37 juta ton atau setara 14,54 juta ton beras, naik 3 juta ton dibanding periode yang sama pada 2020. Tak ada alasan mendasar bagi pemerintah untuk melakukan impor beras.
“Statistiknya jelas, cukup dan bahkan naik dibandingkan 2020. Sehingga, tak ada dasar kuat saat ini pemerintah melakukan impor beras. Pertanyaannya, pemerintah didasarkan pada data apa dan siapa dalam mengambil kebijakan impor beras ini,” kata dia.
Keputusan terkait kebijakan pangan sebaiknya melibatkan seluruh pemangku kepentingan pertanian Indonesia. Public hearing secara komprehensif sangat diperlukan agar kebijakan pangan pemerintah tepat sasaran dan berpihak pada petani serta rakyat Indonesia.
Pemerintah, kata dia, jangan alergi mendengar masukan dan melibatkan organisasi petani, organisasi usaha pertanian dan akademisi, serta pihak-pihak yang terlibat dalam sektor pertanian.
Pemerintah juga jangan tiba-tiba mengeluarkan kebijakan untuk tak lama kemudian dicabut atau direvisi, padahal sudah menyebabkan kegaduhan dan tekanan penurunan harga gabah petani.
“HKTI dan organisasi petani lainnya siap menjadi mitra diskusi dan memberikan masukan kepada pemerintah terkait kebijakan pangan,” imbuhnya.
Discussion about this post